Mohon untuk bersikap bijak dalam setiap menyikapi infomasi dan berita yang beredar di internet karena tidak semua berita itu benar, terkadang di salah gunakan oknum tertentu untuk membuat kekacauan dan fitnah

Politik Dinasti


Oleh: Zainal Bintang
JAGAD politik di Indonesia saat ini kembali heboh di tengah kelamnya upaya mitigasi negara dari serangan wabah Covid-19

Menjelang pertarungan kontestasi pimpinan daerah dalam Pilkada pada Desember 2020 mendatang, isu "politik dinasti" atau "dinasti politik" kembali merebak dan memantik pro kontra di tengah masyarakat. Pilkada Serentak 2020 bakal diikuti keluarga Presiden Jokowi. Gibran Rakabuming Raka (putra) di Solo dan Bobby Afif Nasution (menantu) di Medan.

Di Banten, putri Wakil Presiden KH. Maruf Amin, Siti Nur Azisah akan maju sebagai calon walikota Tangerang Selatan, dan Hanindito Himawan Pramana putra Sekretaris Kabinet Pramono Anung berkontestasi sebagai calon Bupati Kediri Timur.

Tidak mau ketinggalan, keponakan Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo maju sebagai Calon Walikota Tangsel yang diusung PDI-P dan Partai Gerindra.

Apa yang salah? Secara undang-undang tidak ada pasal yang dilanggar. Apalagi ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus pasal "dinasti politik" dalam UU 8/2015 Pasal ada 7 huruf r tentang Pilkada. Putusan MK itu bernomor 33/PUU-2015 tanggal 8 Juli 2015.

Dengan adanya legalisasi "politik dinasti" oleh MK, mau tidak mau masyarakat terpaksa akan berpaling kepada legislator yang ada di Senayan. Sebagai salah satu komponen pembetuk undang-undang.

Masyarakat berharap, lembaga DPR sejatinya sebagai salah satu komponen pembentuk undang-undang yang mengemban politik hukum, sebaiknya segera memperbaiki sistem pemilihan umum bagi pemegang kekuasaan di daerah. Membentengi celah penyimpangan, apapun itu, termasuk budaya "politik dinasti", melalui UU Pilkada yang ketat, sebagai political will untuk penyelenggaraan pilkada.

Namun demikian: Maukah yang terhormat anggota DPR itu melakukannya? Disinilah letak persoalnnya. Politik "lari berputar" berlaku. Kebanyakan calon kepala daerah, terlebih petahana adalah representasi parpol tertentu. Praktik "politik dinasti" yang menguntungkan partai tertentu, akan menolak mendorong kader mereka yang ada di legislatif untuk membumihanguskan "jalan tol" menuju pelanggengan kekuasaan.

Persoalannya tidak sekedar pada ketiadaan atau adanya bunyi pasal pada di regulasi yang harus diubah. Letaknya pada sikap mental yang berakar kepada cacat moralitas. Persoalannya ada pada rendahnya kualitas moralitas. Mengemukanya watak pragmatise, pemburu status sosial serta penggila kekuasaan. Inilah sumber dari segala sumber suburnya "politik dinasti". Memburukkan proses demokratisasi yang terus menerus menjadi jargon politik menghipnotis masyarakat.

Kualitas mentalitas yang rendah yang diidap masyarakat negara berkembang patut digugat. Mereka begitu gampang meninggalkan janji bahkan sumpah yang diucapkannya. Bersembunyi di balik pasal-pasal regulasi hasil kolusi. Terkait dengan adanya indikasi kalangan elit politik yang sengaja merawat sikap dan mentalitas yang tidak terpuji, mengantar ingatan kepada apa yang pernah ditulis Gunnar Myrdal. Peraih nobel berkebangsaan Swedia itu menulis buku  (1968) yang berjudul "Asian Drama" : An Inquiry Into The Poverty Of Nations (Sebuah Pertanyaan Menuju Kemiskinan Bangsa-Bangsa).

Bukunya memaparkan hasil penelitiannya di Asia. Khususnya di India dan Indonesia. Kata "drama" sengaja dipakainya sebagai resultansi kecemasannya menyaksikan tendensi kepura-puraan yang disaksikannya terjadi negara negara Asia. Myrdal menyebut kedua negara tersebut sebagai "soft state" atau "negara lemah". Ada juga yang menyebutnya "negara lunak". Istilah "negara lunak" dilabelkan terhadap negara yang tidak memiliki tradisi administrasi. Karena itu mudah disantap oleh korupsi. Korupsi uang, korupsi hukum dan korupsi politik.

Dr. Ismi Rajiani, MM pernah menulis analisis mengenai buku "Asian Drama" tahun 2013. Rajiani yang bergelar Doctor of Philosophy dalam Ilmu Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya, Malang mengutip Myrdal, menulis begini:

"Diantara ciri-ciri negara lemah adalah: 1. Golongan penguasa  tidak menghormati dan mentaati  undang-undang, malah menggunakan kesempatan untuk mengeruk keuntungan sebesar besarnya demi kepentingan sendiri. 2. Semuanya diperdagangkan, di Indonesia mulai dari sapi sampai keadilan. 3. Peraturan sengaja dilanggar untuk memperkaya golongan berkuasa dan berpangkat. 4. Meluluskan undang-undang tetapi non sense dalam pelaksanaannya.

5. Pembayaran pajak dipermainkan dan kalau bisa tidak perlu dibayar. 6. Semua ngomong kalau dapat jabatan: ini amanah, tapi dalam prakteknya amanah untuk memperkaya diri. 7. "Budi politik" ditabur atau dijual kepada siapa yang bisa mendukung menjadi kepala daerah, anggota DPR, lurah, dan lain lain".

Singkatnya, kata dosen senior Universitas Teknik Malaysia Melaka (UTeM), Fakultas Manajemen Teknologi dan Technopreneurship itu, ciri utama negara lemah (soft state) ialah merajalelanya korupsi, kerakusan, keangkuhan dan penyalahgunaan kekuasaan di kalangan eksekutif (kepala daerah, bupati, gubernur, menteri dan semua penjalan kebijakan), merebak ke kalangan legislatif (DPR), dan akhirnya tidak mau kalah berpartisipasi juga kalangan yudikatif (hakim, jaksa).

"Tangkapan besar terbaru  KPK  yang melibatkan  eksekutif, legislatif dan yudikatif: menunjukkan pembuktian apa yang dikatakan oleh Mbah Gunnar Myrdal sejak puluhan tahun yang lalu masih tetap dipertahankan sampai sekarang ini".

Lantas, bagaimana solusi untuk Indonesia hari ini?

Mungkin akan lebih banyak manfaatnya, jika elite politik bertekad membekali diri dan jiwa dengan semangat Idul Adha. Meneladani konsitensi Nabi Ibrahim atas komitmennya yang rela menyembelih putranya Ismail, -  yang kemudian tergantikan dengan domba - atas nama ketaatan tak bertepi kepada Tuhan.

Ritual penyembelihan hewan adalah refleksi dan simbolisasi "upacara" penyembelihan sifat "kebinatangan" yang ada dalam diri. Sikap teguh Ibrahim harus dibaca sebagai pancaran ketinggian kadar moralitas yang harus dimiliki seorang yang bernama pemimpin: Satu kata dan perbuatan.

Saatnya elite politik bangsa segera membersihkan mentalitas praktik Machiavellisme yang menghamba pada nafsu "the end justifie the means" (tujuan menghalalkan segala cara). Hanya demi sepotong kekuasaan dunia yang tidak kekal. Praktik Machiavellisme dalam ukuran moral tertentu, sering lebih banyak dianalogikan sebagai "sifat kebinatangan" bagian tak terpisahkan nafsu kuasa yang liar.

Selamat Hari Raya Idul Adha 1441 Hijriah. Mohon maaf lahir dan batin.

(Penulis adalah wartawan senior, pemerhati masalah sosial budaya.)

Gerombolan Boedi Djarot, Vandalisme Khas Komunis


Penulis: M Rizal Fadillah

Jum’at (31/07). Peristiwa aksi 27 Juli 2020 di depan Gedung DPR oleh “kelompok merah” yang jumlahnya sedikit saja membuat kehebohan. Yang aneh adalah asinya menyerang figur Habib Rizieq Shihab. Menistakan gambar atau  baliho HRS dengan menginjak-injak,  membakar dan merobeknya.

Api yang tidak bisa membakar baliho bergambar HRS menjadi keunikan tersendiri. Padahal baliho HRS telah disirami dengan minyak, entah minyak bensin atau minya tanah. Tetap saja haliho yang kainnya sangat mudah terbakar itu tidak bisa terbakar. Kelompok merah ini dipimpin oleh Sekjen GJI Boedi Djarot adiknya Eros Djarot.

Walaupun umat Islam tidak semua sefaham dengan langkah dan perjuangan HRS, akan tetapi penistaan terhadap HRS sebagai tokoh atau ulama cukup membuat umat Islam prihatin. Membuat gara-gara apa “kelompok merah” ini? Simpati kepada HRS dipastikan akan muncul dari mana-mana. Bahkan dari yang bukan muslim.

Simpati dan pembelaan terhadap HRS bukan hanya dari organisasi yang dipimpinnya, yaitu FPI.  Tetapi dipastikan lebih luas dari FPI, khususnya dari kalangan umat Islam. Sekurangnya para alumni 212 akan bersikap untuk mendukung HRS. Jumlahnya jutaan pasti puluhan juta.

Militansi umat yang tinggi dalam melawan perilaku zalim. Sebab kelompok dan gerombolan merak Boedi Djarot layak untuk dikecam. Telah membuat kegaduhan baru di tengah banyaknya kegaduhan di negara ini. Bara permusuhan telah diciptakan.

Terlepas dari motif yang mendasari gerombolan Boedi Djarot. Apakah memancing, ekspresi dendam, atau lainnya? Namun pembakaran atau perusakan secara demonstratif baliho bergambar HRS dinilai sangat tidak bermoral. Reaksi balasan diperkirakan bakal terjadi.

Sebelumnya pelaku pembakaran bendera PDIP masih misterius. Bisa yang membakar adalah peserta aksi yang kontra terhadap RUU HIP. Namun bisa dari susupan PDIP sendiri. Bisa pula memang pihak ketiga yang memancing situasi agar semakin mamanas.

Yang jelas peringatan “kudatuli” menunjukkan kenanehan tersendiri. Sebab tiba-tiba saja berfokus pada perusakan dan penistaan baliho yang bergambar HRS. HRS sendiri rasanya tidak memiliki hubungan apa-apa dengan peristiwa 27 Juli tersebut. Bahkan mungkin saja mengutuk keras peristiwa tersebut.

Aada tiga kemungkinan konsekuensi dari penistaan dengan percobaan pembakaran dan perusakkan secara terencana baliho bergambar HRS oleh gerombolan Boedi Djarot ini, yaitu :

Pertama, dilaporkan ke pihak Kepolisian prilaku Boedi Djarot cs. Tetapi dipastikan proses pengusutan tidak akan berjalan serius. Kasus Ade Armando, Abu Janda, dan Denny Siregar adalah contoh. Jadi, para simpatisan dan pendukung HRS jangan terlalu berjarap banyak dari kemungkinan pertama.

Kedua, dilakukan pencarian sendiri terhadap Boedi Djarot cs oleh massa pendukung HRS. Tujuannya untuk meminta pertanggungjawaban atas perbuatan penistaan yang dilakukan oleh gerombolan Boedi Djarot ini.

Ketiga, bisa saja budaya bakar bakar dan perusakan baliho atau poster terhadap tokoh menjadi kebiasaan. Pembalasan misalnya, dengan membakar baliho Megawati atau Djarot atau tokoh lain yang diduga terlibat dirusak, diinjak-injak, atau dibakar pula. Ke depan bisa saja  baliho Presiden Jokowi, Menteri atau pejabat lain juga diperlakukan sama. Ini tentu sangat tidak sehat.

Bila tidak ada langkah baik dari kekuatan politik protektor “kelompok merah” maupun aparat penegak hukum, maka isu bahwa perusakan dan pembakaran itu dilakukan oleh gerombolan neo PKI atau aktivis komunis bisa saja menggelinding. Modus adu domba sangat kentara. Yang dirobek, diinjak-injak, atau dibakar pada hakekatnya tidak lain adalah nilai-nilai moral.

Gaya brutal dan vandalisme seperti ini menjadi karakter khas gerakan komunisme. Wajar rakyat Indonesia harus mulai waspada dan siaga. Neo PKI dan Komunisme mulai dan sedang bergerak. []
Back To Top