Mohon untuk bersikap bijak dalam setiap menyikapi infomasi dan berita yang beredar di internet karena tidak semua berita itu benar, terkadang di salah gunakan oknum tertentu untuk membuat kekacauan dan fitnah

Jangan Alihkan Kesalahan Polri ke Surat Jalan Djoko Tjandra


Jangan Alihkan Kesalahan Polri ke Surat Jalan Djoko Tjandra

By Asyari Usman

Sengaja atau tidak, pimpinan Polri berusaha mengalihkan fokus kesalahan Polri secara institusional menjadi kesalahan Brigjen Prasetijo Utomo (PU) yang mengeluarkan surat jalan (SJ) untuk Djoko Tjandra (DT). Cara pengalihan kesalahan ini sangat ‘high profile’. Tak kurang Kadiv Humas Irjen Argo Yuwono melakukan ‘spin doctoring’ (pengolahan opini) yang lumayan canggih. Tujuannya bisa ditebak. Yakni, supaya publik mengarahkan kritik atau celaan kepada Brigjen Prasetijo saja.

Nah, publik harus disadarkan. Kesalahan terbesar dalam kasus Djoko Tjandra alias Joko Soegiarto Tjandra (JST) bisa keluar masuk Indonesia secara ilegal, dan melakukan berbagai kegiatan termasuk pembuatan e-KTP super cepat, bukanlah di tangan Brigjen PU. Kesalahan terbesar dalam drama ini ada di tangan Polri, khususnya jajaran intelijen dan Bareskrim.

Mengapa? Karena alur utama drama DT (JST) adalah kegagalan Polisi menangkap buronan korupsi “most wanted” itu. Jadi, yang harus dipersoalkan adalah mengapa DT tidak terdeteksi dan tidak bisa ditangkap? Ini yang teramat penting untuk dijawab. Apakah kesalahan Brigjen Prsetijo lebih fundamental atau kesalahan institusi Polri yang fatal? Ini yang harus diurai tuntas.

Surat jalan atas nama DT yang dikeluarkan oleh mantan Karokorwas PPNS Bareskrim Polri, memang tindakan yang salah. Dan Brigjen PU wajar mendapatkan hukuman administratif. Sudah tepat dia dicopot dari jabatannya.

Tapi, pembuatan surat jalan oleh Brigjen PU itu bukan kesalahan utama dalam drama yang berbau busuk ini. Surat jalan untuk DT hanya ‘satu adegan kecil’ diantara adegan-adegan yang mungkin melibatkan bintang-bintang besar di Polri dan juga di instusi-institusi lain. Surat jalan itu hanya digunakan dalam perjalanan Djoko dari Jakarta ke Pontianak dan balik ke Jakarta lagi. SJ itu hanya berlaku dari 19 Juni sampai 22 Juni.

Padahal, DT berada di Indonesia selama tiga (3) bulan. Keberadaan DT yang cukup lama ini (yakni antara akhir Maret 2020 sampai akhir Juni 2020) diungkapkan oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin ketipa rapat kerja dengan Komisi III DPR pada 29 Juni 2020. Jaksa Agung mengakui intelijen Kejakgung lemah. Gagal menangkap DT (JST).

Tapi, Menkum HAM Yasonna Laoly mengatakan pihaknya tidak mempunyai data tentang keberadaan Djoko Tjandra selama tiga (3) bulan itu.

Kalau Kejaksaaan berkilah intelijen mereka lemah, tentu tidak begitu halnya dengan intelijen Polri. Intel Polisi pasti sangat kuat. Dengan ribuan personel yang terlatih. Nah, mengapa kepolisian “tak tertarik” untuk menangkap Djoko. Padahal, polisi tahu si buronan ini pernah dalam status Red Notice (buronan) di Markas Interpol atas permintaan Kejaksaan Agung. Dari 2009 sampai 2015. Red Notice dihapus karena tidak ada permintaan perpanjangan dari Kejaksaan. Ini pun cukup mengherankan. Mengapa tidak diperpanjang? Sangat menakjubkan! Patut diduga Red Notice itu dihapus atas permintaan dari pihak DT dengan imbalan yang cukup besar.

Kepolisian perlu menjelaskan mengapa mereka “tak mendeteksi” keberadaan DT di Indonesia seperti disebut di atas. Sungguh sangat aneh kalau Polisi juga beralasan intelijen mereka lemah.

Manko Polhukam Mahfud MD merasa kesal mengapa Polisi –dan juga Kejaksaan— tidak mau atau tidak bisa menangkap DT. Menurut Mahfud, Indonesia sangat malu dipermainkan oleh Djoko Tjandra. Padahal, kata Mahfud, Polisi itu hebat sekali. Dan juga Kejaksaan Agung.

Karena itu, kesalahan Polri secara institusional tidak wajar kalau ditimpakan kepada Brigjen Prasetijo Utomo. Brigjen PU memang nyata melakukan kesalahan dengan penerbitan SJ untuk Djoko Tjandra. Untuk keselahan itu dia membayarnya dengan pencopotan yang mempermalukan dirinya. Bahkan, kalau ada celahnya, bagus juga perbuatan Prasetijo itu ditelusuri tuntas. Kalau ada unsur pidananya, tentu harus diproses.

Bila perlu, Prasetijo dipecat saja sekalian dari Polri. Namun, jangan sampai ‘adegan kecil’ Brigjen itu diolah sedemikian rupah sehingga kesalahan Kepolisian menjadi tertutupi. Tidaklah adil mengalihkan kesalahan Polri ke surat jalan Djoko Tjandra.

16 Juli 2020
(Penulis wartawan senior)

Ayo Tebak, Djoko Tjandra Keluar-Masuk Pakai Sogok atau Tidak?


Ayo Tebak, Djoko Tjandra Keluar-Masuk Pakai Sogok atau Tidak?

Djoko Tjandra memang hebat. Dalam status sebagai buronan ‘most wanted’ (paling dicari), semua instansi yang diperlukannya memberikan “bantuan” penuh. Semuanya “memfasilitasi” keinginan Tuan Djoko.

Berbagai bantuan yang ‘generous’ itu antara lain adalah masuk ke Indonesia tanpa hambatan di Imigrasi. Kemudian mengurus e-KTP sampai terbit dalam waktu 1 jam 15 menit di Kantor Lurah Grogol Selatan, Jakarta. Terus, dia pergi ke Mahkamah Agung (MA) untuk memasukkan gugatan PK (Peninjauan Kembali) putusan yang dia rasakan merugikan dirinya. Setelah itu, dia terbang kembali ke luar negeri tanpa terdeteksi. Untuk melanjutkan status buronannya.

Tidak ada satu pun instansi keamanan yang mendeteksi si terpidana ini. Imigrasi tidak tahu. Polisi bagai kena sihir. Kejaksaan tak berfungsi. Semua instansi penegak hukum ini bagaikan terlena oleh “hiburan yang mengasyikkan” dari Tuan Djoko.

Djoko diburu oleh penegak hukum dengan kasus hak tagih (cessie) Bank Bali dengan kerugian negara 940 miliar rupiah. Dia menjadi buronan sejak 2009. Melarikan diri ke luar negeri. Pada 2012, Djoko Tjandra diketahui memiliki paspor Papua Nugini.

Menko Polhukam Mahfud MD kabarnya marah sekali. Dia mengatakan, negara sangat malu dipermainkan oleh Djoko Tajndra. Mahfud menyindir Polisi dan Kejaksaan yang tak bisa menangkap buronan ini. Padahal, menurut Mahfud, Polisi dan Kejaksaan adalah dua instansi yang hebat.

Kekesalan Pak Mahfud itu bisa dipahami. Mungkin dia merasa instansi-instansi penegak hukum yang gagal menangkap Djoko itu terkesan dikangkangi oleh si buronan.

Sekarang, mari kita main tebak-tebakan berhadiah. Tentang perilaku Tuan Djoko. Silakan Anda jawab deretan pertanyaan di bawah ini.

Mungkinkah Djoko bisa masuk ke Indonesia tanpa sogok? Mungkinkah dia melewati Imigrasi tanpa bisa dikenali? Pihak Imigrasi mengatakan yang bertugas waktu itu adalah pegawai baru.

Mungkinkah dia membuat e-KTP di Kantor Lurah Grogol Selatan dalam waktu 1 jam lebih sedikit, tanpa uang sogok? Logiskah Pak Lurah tidak menerima apa-apa ketika dia “membantu” pembuatan e-KTP untuk Djoko dalam waktu singkat?

Mungkinkah Pak Camat setempat juga tak mendapatkan apa-apa? Logiskah para pejabat yang terkait dengan pembuatan e-KTP untuk orang sepenting Djoko Tjandra, membantu si buronan dengan “senang hati” tanpa imbalan besar?

Mendagri Tito Karnavian mengatakan di depan rapat dengan DPR bahwa pembuatan e-KTP untuk Tuan Djoko bisa cepat karena memang orientasi petugas di instansi Dukcapil adalah pelayan cepat. Begitu data seseorang ada di Dukcapil, langsung bisa cetak e-KTP.

Nah, pertanyaan quiz berikutnya adalah: siapa diantara Anda yang punya pengalaman membuat e-KTP dalam waktu 1.5 jam? Ayo, pernah tahu teman atau tetangga yang bisa dapat e-KTP satu setengah jam?

Hehe. Tuan Djoko Tjandra memang mantap. Dia ini bisa dijadikan Dirjen Dukcapil. Atau Mendagri sekalian. Mengapa? Karena dia bisa memerintahkan petugas kelurahan membuat e-KTP super cepat.

Kembali ke quiz berhadiah. Apakah mungkin para pejabat tinggi yang terkait dengan kedatangan ilegal Djoko, tidak mendapatkan apa-apa?

Mengingat statusnya sebagai buronan kelas satu, mungkinkah semua liku-liku perjalanan Tuan Djoko itu dia lalui secara gratis? Tanpa sogok sana-sini?

Pemenang pertama quiz Djoko Tjandra ini akan mendapatkan beberapa hadiah istimewa. Hadiah pertama, pembuatan e-KTP 5 menit, langsung di kantor Mendagri. Hadiah kedua, tiket pesawat untuk berjumpa dengan Djoko Tjandra di mana pun dia berada. Akan ada acara ‘morning coffee’ dengan si buronan. Acara ‘kopi pagi’ ini sangat istimewa. Karena pemenang akan ditemani oleh Denny Siregar, Abu Janda, dan Ade Armando.

Diperkirakan akan ada hadiah kejutan dari Tuan Djoko sendiri. Menurut bocoran, hadiah kejutan itu berbentuk kursus kilat tentang cara-cara untuk (maaf ya) “memberaki” muka para pejabat Indonesia.

15 Juli 2020

By Asyari Usman
(Penulis wartawan senior)

Tanggapan Asyari Usman Untuk Mahfud MD


Mungkinkah Komunisme-PKI Bangkit Kembali?

By Asyari Usman

Kalau pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD dijadikan pegangan, tampaknya tidak mungkin PKI bisa hidup lagi. Sebab, kata Pak Mahfud, Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang larangan penyebaran ajaran komunisme-marxisme-leninisme tidak bisa dicabut oleh pihak mana pun. Dan, kata Mahfud lagi, tidak ada juga pihak yang ingin mencabut itu.

Kalaulah Anda semua yakin ucapan Mahfud itu bisa dijadikan landasan, tentu tidak ada yang perlu khawatir. Kecuali Anda tidak percaya kepada beliau. Lain lagi masalahnya.

Terlepas dari jaminan Menko Polhukam, kita semua melihat begitu banyak gejala yang menunjukkan bahwa komunisme-PKI sedang berusaha untuk bangkit. Kita uraikan gejala-gejala yang membuat publik, khususnya umat Islam, menjadi curiga PKI tidak akan tinggal diam.

Misalnya, ada upaya yang rapi untuk membalikkan fakta. Setelah Reformasi 1998, orang-orang atau kelompok tertentu berusaha menyebarkan opini bahwa PKI tidak melakukan kesalahan dalam peristiwa pembunuhan para jenderal pada 30 September 1965 malam (dinihari 1 Oktober 1965).

Kemudian, ada pula desakan dari orang-orang yang mengatasnamakan keluarga PKI agar pemerintah Indonesia meminta maaf secara resmi atas rangkaian peristiwa yang memakan korban orang-orang PKI. Bahkan ada yang meminta supaya kuburan massal PKI 1965 diusut tuntas.

Seterusnya, bermunculan seminar atau diskusi yang arahnya membela hak-hak asasi manusia (HAM) warga atau keturunan PKI. Upaya ‘ilmiah’ ini diiringi pemameran simbol-simbol atau lambang PKI di banyak pelosok negeri. Ada banyak yang memakai kaos palu-arit di depan publik, ada pula yang membuat graffiti (corat-coret) di tembok yang memajangkan slogan atau lambang komunisme dan PKI. Belum ini ada kasus bendera merah-putih yang diberi lambang palu-arit. Bendera ini ditemukan pada 11 April 2020 di kampus Universitas Hasanuddin, Makassar.

Jadi, bagaikan ada upaya sistematis untuk membukakan peluang bagi komunisme-PKI berkembang lagi. Untuk bangkit kembali. Banyak orang yang menginginkan kebangkitan komunisme-PKI. Dan tidak sedikit yang memberikan simpati. Dengan berbagai cara.

Ada yang memperjuangkan pencabutan Tap MPRS 1966 tentang larangan komunisme-marxisme-leninisme. Dan ada pula yang mengatakan sesuatu yang didambakan oleh para pendukung PKI. Yaitu, orang yang mengatakan penampakan kaus palu-arit hanyalah ‘trend’ anak muda saja. Bukan hal yang serius.

Yang sangat mengkhawatirkan adalah perlindungan yang pantas diduga diberikan oleh kekuatan politik. Misalnya, blok politik besar yang sengaja menampung orang-orang yang menghendaki komunisme atau mereka yang terkait dengan PKI. Blok politik itu menampung orang-orang yang berindikasi memperjuangkan implementasi paham komunis di negeri ini.

Kekuatan politik yang memiliki hubungan historis yang kental dengan PKI dan komunisme tsb, tidak berlebihan kalau disebut sengaja memberikan ‘ruang hidup’ kepada sisa-sisa komunisme-PKI.

Ini dapat dilihat dari upaya memuluskan pengesahan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) di DPR. RUU yang ditolak oleh PKS bersama Partai Demokrat dan dipersoalkan oleh PAN dan PPP itu, tidak mencantumkan Tap MPRS XXV/MPRS/1966 seperti disinggung di awal tadi. Banyak yang melihat ini sebagai upaya untuk menghalalkan komunisme dan PKI. Meskipun Menko Polhukam dan para petinggi DPR yang menangani RUU HIP sibuk meyakinkan publik bahwa UU HIP akan memperkuat ideologi Pancasila.

Belakangan ini, sponsor RUU HIP mengubah taktik. Mereka mengganti judul RUU bermasalah ini menjadi RUU PIP (Penguatan Ideologi Pancasila). Umat Islam tetap tidak akan percaya pada pengubahan judul itu. Sebab, kalau tidak ada maksud-maksud terselubung, mengapa masih harus mencarikan jalan keluar (way out) untuk sesuatu yang ditolak dan dicela keras oleh semua pihak?

Tampaknya, tahun-tahun mendatang ini akan menjadi masa yang penuh tantangan berat bagi rakyat, khususnya umat Islam yang sangat keras melawan komunisme-PKI. Umat Islam tidak boleh lengah. Sebab, sangat pantas diyakini bahwa memang ada kekuatan yang sedang bekerja untuk menghidupkan kembali paham komunis.

Dengan segala gejala pro-komunis dan pro-PKI yang ada sekarang ini, setiap saat umat akan dibayangi pertanyaan: mungkinkah PKI bangkit kembali?

12 Juli 2020
(Penulis wartawan senior)

JOKOWI MERASA NGERI, TAPI ADA YANG LEBIH NGERI LOH...


JOKOWI MERASA NGERI

Presiden Jokowi mengatakan dia ngeri dengan situasi yang akan dihadapi. Pertumbuhan ekonomi bisa minus 8%. Pak Joko masih belum puas dengan cara kerja para menterinya. Harus bekerja lebih keras lagi. Lebih serius lagi. Harus ada perasaan krisis (sense of crisis).

Begini Pak Joko. Yang lebih ‘horrific’, lebih seram, lagi nanti ialah ketika Anda ditanya di Akhirat tentang kekuasaan Anda, Pak. Bagaimana mendapatkannya; bagaimana menggunakannya dan untuk siapa. Perasaan ngeri Anda selagi Anda duduk di Istana, tak ada apa-apanya dibandingkan dengan teror di Padang Mahsyar, kelak.

Di Akhirat sana tidak ada lagi yang pasang badan untuk Anda. Tidak ada Pak Luhut. Tidak ada Pak Hendro. Tidak juga Pak Tito. Panjenengan akan berdiri sendirian menjawab interogasi Allah al-Aziz al-Hakim.

Tidak bisa berkilah. Yang ada malahan saksi-saksi yang mungkin akan memberatkan. Ketua KPU akan dipanggil. Ketua MK akan dihadirkan. Ketua MA akan tampil. Semua mereka akan berbicara apa adanya. Semua mereka akan tertunduk jujur. Begitu pula orang-orang kuat Anda yang lainnya. Siapa pun dia.

Para ketua parpol koalisi akan bersaksi juga. Mereka akan membeberkan semuanya. Sesuai dengan rekaman CCTV yang disimpan oleh malaikat Rakib dan Atid. Rekamannya lengkap. Kedua malaikat ini tidak akan pernah “salah input” seperti di KPU.

Tak seorang pun yang berani membolak-balikkan fakta. Para buzzer Anda membisu ketakutan. Denny Zulfikar Siregar, Abu Janda, Ade Armando, dll, tidak lagi bisa kebal hukum. Di sana, mereka tak bisa lagi seenaknya.

Tim hukum yang tempohari membela Anda di MK, juga akan diperiksa tuntas. Semua akan dibukakan secara transparan. Niat mereka pun akan ditunjukkan. Apalagi perbuatan mereka.

Tapi, Pak Joko, semua informasi tentang kengerian dahsyat di Akhirat sebagaimana diuraikan di atas, hanya berlaku bagi orang-orang yang percaya pada Hari Kebangkitan. Bagi yang tidak mengimaninya, tentu cerita ini tak relevan.

Artinya, semua ini seratus persen soal percaya atau tak percaya. Beriman atau tidak beriman. Banyak orang yang pura-pura percaya, padahal mereka tidak.

By Asyari Usman
(Penulis wartawan senior)

Back To Top